jump to navigation

BERMUAMALAH DENGAN KALAM ALLAH Juni 10, 2007

Posted by arifardiyansah in Majalah Nikah.
trackback

Al-Quran merupakan kitab yang diwahyukan kepada Rasul terakhir, Muhammad n. Ia adalah kitab yang dijaga kemurniannya oleh Allah sendiri. Ia adalah pedoman bagi siapa saja yang menginginkan keselamatan.

Ahlus sunnah wal jama’ah adalah kelompok yang paling dekat dengan Al-Quran. Mereka adalah yang paling berusaha menepati dan menetapi apa yang ada di dalamnya. Apakah kita juga telah bersikap terhadap Al-Quran sebagaimana pendahulu-pendahulu kita yang salih dari kalangan ahlus sunnah? Hari ini, kita menemukan sikap-sikap yang tak sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh para pendahulu kita. Apa sajakah itu?


Sekadar Hiasan
Al-Quran bisa jadi merupakan barang yang biasa dijadikan mahar pernikahan selain seperangkat alat salat. Selain ‘fungsi’-nya sebagai mahar pernikahan, Al-Quran juga sering dijadikan hiasan pajangan di ruang tamu atau ruang keluarga. Yang sering terjadi kemudian adalah mahar hanyalah mahar dan hiasan hanyalah hiasan. Sentuhan sewaktu menyimpan di almari menjadi sentuhan yang terakhir.
Berbeda dengan yang dilakukan para salaf. Mereka tidak memajang Al-Quran sebagai hiasan; mereka membacanya, menghafalnya, mentadabburinya, mempelajarinya, dan mengamalkannya dengan giat.
Yang disyariatkan sebagai hak bagi orang Islam adalah selalu menjaga untuk membaca Al-Quran dan melakukannya sesuai kemampuan sebagai pelaksanaan atas firman Allah l.

“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Quran).” (Al-Ankabut: 45)

“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Tuhanmu (Al-Quran).” (Al-Kahfi: 27)

Rasulullah n bersabda, “Bacalah Al-Quran karena sesungguhnya dia datang memberi syafa’at bagi pembacanya di hari kiamat.” (Riwayat Muslim)

Masalah membaca Al-Quran saja para salaf sudah demikian hebat. Imam Asy-Syafi’i v biasa mengkhatamkan 1 kali 1 hari. Saat bulan Ramadhan, beliau mengkhatamkan sebanyak 60 kali.

Belum lagi masalah hafalan Al-Quran, para salaf sangat hebat dalam hal ini. Zaman ulama salaf dahulu, anak kecil hafal Al-Quran adalah suatu hal yang biasa. Gelar Al-Hafizh dulu tidak diberikan kepada orang-orang yang hafal Al-Quran karena orang hafal Al-Quran sudah biasa; gelar ini diberikan kepada orang-orang yang hafal ribuan hadits.
Sekadar Bacaan
Beberapa kaum muslim sudah ada yang sampai ke tingkat membaca Al-Quran secara rutin. Namun bacaan mereka hanyalah sekadar bacaan; yang tidak ditadabburi dan tidak dipelajari. Allah befirman tentang perintah mengambil pelajaran dari Al-Quran ini, “Ini adalah sebuah kitab yang Kami (Allah) turunkan kepadamu, yang di dalamnya penuh dengan berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya mendapatkan pelajaran bagi orang-orang yang mau menggunakan akalnya.” (Shad: 19)

Bacaan yang ditadabburi dan ditafahhumi (dipahami maknanya) tentu lebih baik daripada bacaan yang berlalu begitu saja. Beginilah cerita Hudzaifah z saat salat bersama Rasulullah n, “…Apabila bacaan beliau melewati ayat yang berkaitan dengan pujian, maka beliau pun bertasbih, dan apabila bacaan beliau melewati ayat permohonan, maka beliau pun memohon. Lalu apabila bacaan beliau melewati ayat yang berkaitan dengan perlindungan, maka beliau pun memohon perlindungan.” (Riwayat Muslim dan An-Nasa’i)

Mentadabburi dan mempelajari Al-Quran selayaknya dilanjutkan dengan mengamalkannya. Sia-sialah jika ilmu tidak diamalkan. Ilmu yang tidak diamalkan kelak juga harus dipertanggungjawabkan. Benarlah, Al-Quran adalah hujjah bagi kita atau hujjah atas diri kita.

Sebagai Sandaran Hukum

Iman terhadap Al-Quran merupakan unsur iman kepada kitab-kitab Allah. Iman terhadap Al-Quran juga harus memasukkan unsur mengimani Al-Quran sebagai salah satu sumber hukum. Ini berarti setiap muslim harus mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dalam Al-Quran dan harus menghalalkan apa yang telah dihalalkan Allah dalam Al-Quran.

Hal ini juga termasuk unsur beriman bahwa hanya syariat Allah-lah yang layak untuk diterapkan di muka bumi. Hukum selain hukum Allah adalah tidak layak untuk diterapkan kepada manusia. Setiap muslim wajib meyakini hanya syariat Allah-lah yang harus dan layak diterapkan untuk manusia di bumi ini.

“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi oang-orang yang yakin?” (Al-Maidah: 50)

Sebagian kaum muslim memang membaca Al-Quran, mentadabburinya, mempelajarinya, namun mereka menganggap kitab Allah ini hanya sebagai bacaan dan pelajaran bagi umat Islam semata. Sebagian mereka ada yang tidak tahu, ada yang tidak mau tahu, dan ada yang menolak bahwa kitab Allah ini juga harus menjadi sumber hukum umat manusia, di samping sumber hukum Islam lainnya.

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kemu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (Al-Maidah: 49)

Dengan demikian, kita harus menerapkan hukum-hukum Al-Quran yang bisa diterapkan dengan situasi dan kondisi saat ini, sedangkan hukum-hukum yang hanya bisa tegak dengan syarat dan kondisi tertentu, harus ditegakkan jika syarat dan kondisi tertentu itu telah tercapai.

Sebagai Obat Penyembuh

Ada kaum muslim yang sudah membaca, mentadabburi, dan mempelajari Al-Quran, namun mereka tidak menggunakan bacaan Al-Quran sebagai pengobatan. Padahal Al-Quran adalah penyembuh, penawar, dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Al-Quran adalah penyembuh baik bagi penyakit ruhani maupun jasmani.

Allah befirman, yang artinya,

“Dan Kami turunkan dari Al-Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.”(Al-Isra’: 82)

“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Yunus: 57)

Dalam Al-Quran, Allah telah menyebutkan berbagai penyakit hati, beberapa sebabnya, sekaligus cara menyembuhkan penyakit-penyakit tersebut. Adapun mengenai penyakit badan, sahabat Rasulullah n pernah mengobati orang yang tersengat kalajengking dengan bacaan surah Al-Fatihah. Ibnu Qayyim juga bercerita, “Pada suatu ketika aku pernah jatuh sakit, tetapi aku tidak menemukan dokter atau obat. Lalu aku berusaha mengobati dan menyembuhkan diriku dengan surat Al-Fatihah, maka aku melihat pengaruh yang sangat menakjubkan. Aku ambil segelas air zam-zam dan membacakan padanya surah Al-Fatihah berkali-kali, lalu aku meminumnya hingga aku mendapatkan kesembuhan total.” (Zadul Ma’ad, IV/178)

Namun ada juga yang melakukan penyimpangan dalam hal pengobatan dengan Al-Quran ini. Di antara mereka ada yang menulis ayat Al-Quran dan menggunakannya sebagai jimat yang dikalungkan atau dipasang. Hal ini tidak diperbolehkan karena sama saja dengan menggunakan tamimah yang sudah dilarang.

Malahan saat ini ada yang terang-terangan mempromosikan pengobatan dengan Al-Quran dengan cara yang tidak pernah dituntunkan oleh Rasulullah n lewat media cetak. Metode mereka mengatakan bahwa setiap orang mempunyai juz-juz Al-Quran bersesuaian dengan diri orang tersebut. Untuk pengobatan, hendaknya seseorang membaca juz yang bersesuaian dengannya. Anehnya, saat membaca juz tersebut malah dianjurkan untuk tidak membaca ta’awudz dan basmalah. Na’udzubillah….

Tafsir yang Benar

Banyak terjadi juga para da’i, khatib, atau penceramah berani menafsirkan ayat Al-Quran sesuai pengetahuan dan pemahaman mereka. Apakah ada yang menjamin tafsiran mereka benar? Dengan bekal apakah mereka berani menafsirkan firman Allah?

Menafsirkan kalam Allah dengan sekadar menebak-nebak sesuai akal kita adalah tidak diperbolehkan. Rasulullah n mengancam orang yang berbuat demikian dengan neraka, “Barangsiapa yang berkata tentang Al-Quran tanpa ilmu maka disediakan baginya tempat duduk di neraka.” (Riwayat At-Tirmidzi)

Dalam riwayat lain, “Barangsiapa yang berkata tentang Al-Quran dengan pendapatnya (pandangannya pribadi), maka dia telah menyediakan tempat duduknya di neraka.” (Riwayat At-Tirmidzi)

Metode penafsiran yang benar adalah sebagai berikut, pertama, tafsir Al-Quran dengan Al-Quran. Maksudnya, jika ada kesulitan memahami satu ayat, maka keterangan ayat tersebut kita cari pada ayat lain sebelum kita mencari sumber lain. Sebab, Allah, sang pemilik ayat adalah lebih memahami suatu ayat. Kedua, tafsir Al-Quran dengan sunnah Nabi n. Jika tidak ada keterangan dari ayat lain, kita merujuk kepada sunnah Rasulullah n sebelum kepada sumber lainnya. Sebab, Rasululah n adalah orang yang paling mengerti wahyu Allah dibanding manusia lainnya. Ketiga, tafsir Al-Quran dengan keterangan sahabat Rasul n. Jika kita tidak menemukan keterangan dari sunnah Nabi, kita mencari keterangan dari para sahabat sebelum orang lain. Sebab, merekalah generasi terbaik umat ini, merekalah yang menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui sebab turunnya wahyu, bahkan menjadi sebab dan objek turunnya wahyu tersebut. Keempat, tafsir Al-Quran dengan keterangan tabi’in sebelum orang lain. Sebab, mereka adalah murid para sahabat. Kelima, kembali kepada ahli bahasa Arab, sebab Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab.

Itulah beberapa perbedaan sikap kebanyakan kaum muslim hari ini dengan apa yang seharusnya kita amalkan terhadap Al-Quran dari manhaj salafus salih. Semoga dengan beramal sesuai manhaj yang benar, kita tidak termasuk orang-orang yang dikeluhkan oleh Rasulullah n, “Wahai Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Quran ini sesuatu yang tidak diacuhkan.” (Al-Furqan: 30)

(aboe okasha)

Sumber: Pengantar Studi Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Dr. Ibrahim bin Muhammad Al-Buraikan; Fathul Majid, Syaikh Abdurrahman Alu Syaikh; As-Sunnah 06/IX/2005; Di Bawah Naungan Cinta, Abdul Hadi Hasan Wahbi.

keterangan:

Naskah ini punya mas wirawan yang telah ditampilkan di majalah Nikah edisi Januari 2007

jangan lupa kunjungi website kami: http://www.majalah-nikah.com

Komentar»

1. dian - Juni 11, 2007

akhi artikel ini bagus sekali!!!!!!


Tinggalkan komentar