jump to navigation

HUKUM ABORSI Juli 3, 2008

Posted by arifardiyansah in Nasihat Ulama.
trackback

zaman sekarang ini aborsi semakin hari, semakin marak. Hal ini tidak terlepas dari jauhnya para praktisi aborsi dari tuntunan agama. Seiring perkembangan zaman di era yang memang menyuarakan kebebasan, fenomena free seks menjadi semakin menggila. Banyak wanita yang terkena bujukan setan lewat seorang lelaki. Mereka merayu sedikit-sedikit sehingga sang wanita mau untuk melakukan hal yang seharusnya tidak dilakukan kecuali oleh suami istri. Pada akhirnya, penyesalan selalu datang terlambat. Mahkota keperawanan seorang wanita yang harusnya selalu dijaga sampai mereka mendapatkan lelaki yang sah dalam ikatan pernikahan hilang dalam kenikmatan sesaat. Bahkan rahimnya telah terisi seorang anak zina yang tidak berdosa. Dan karena tak mau menanggung malu disebabkan kandungannya yang semakin buncit, sehingga tanpa malu-malu dan rasa takut kepada Sang Pencipta, mereka menggugurkannya. Na’udzubillah! Ibarat sebuah pepatah “sudah jatuh tertimpa tangga” sudah melakukan dosa alih-alih bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat malah berbuat dosa yang lebih besar dengan membunuh anak yang tak berdosa di dalam rahim. Mungkinkah mereka tidak menyadarinya, bahwa sesungguhnya praktik aborsi yang tersebar luas di zaman ini adalah tindak perbuatan yang diharamkan. Dan jika memang bayi yang ada dalam kandungan itu telah ditiupkan ruh, kemudian mati akibat aborsi, maka hal itu termasuk pembunuhan jiwa tanpa alasan yang benar yang diharamkan oleh Allah, selanjutnya karena perbuatan itu ia akan menerima hukum-hukum jinayat dengan kewajiban membayar diyat (denda) secara detail sesuai ukuran kejahatannya.

Detailnya, menurut sebagian para Imam, wajib membayar kaffarah (tebusan), yaitu dengan memerdekakan seorang budak yang beriman dan jika tidak mendapatkannya, maka hendaklah ia shaum 2 bulan berturut-turut. Bahkan oleh sebagian ulama perbuatan aborsi ini dinamakan dengan Al-Mau’udah Ash-Sughraa (pembunuhan kecil).

Syaikh Muhammad bin Ibrahim v berkata dalam Majmu’ Fatawa-nya 11/151, “Adapun usaha untuk menggugurkan kandungan adalah tidak boleh selama belum jelas bayi dalam kandungan itu mati, akan tetapi jika bayi tersebut jelas mati maka boleh melakukan pengguguran.”

Kumpulan ulama-ulama besar Kerajaan Saudi Arabia atau yang terkenal dengan Majelis Kibarul Ulama (MUI-nya Kerajaan Saudi Arabia) no. 140 tanggal 20 Jumadil Akhir 1407 telah menetapkan permasalahan aborsi sebagai berikut,

1. Tidak boleh melakukan aborsi dengan jalan apa pun kecuali dengan cara yang baik yang dibenarkan oleh syar’i, itu pun dalam batas yang sangat sempit.

2. Jika kandungan itu masih dalam putaran pertama (selama 40 hari) lalu ia melakukan pengguguran pada masa ini karena khawatir mengalami kesulitan dalam mendidik anak-anak, atau khawatir tidak bisa menanggung beban hidup dan pendidikan mereka atau dengan alasan mencukupkan dengan beberapa anak saja, maka semua itu tidak dibenaran oleh syariat.

3. Tidak boleh melakukan aborsi, jika kandungan telah membentuk ‘alaqah (segumpal darah) atau mudghah (segumpal daging) sampai ada keputusan dari tim dokter yang tsiqah (terpercaya) bahwa melanjutkan kehamilan akan membahayakan keselamatan ibunya. Jika demikian, maka melakukan pengguguran dibolehkan, setelah segala macam usaha untuk menghindari bahaya bagi sang ibu dilakukan (dan tidak ada jalan yang harus dilakukan selain aborsi itu).

4. Setelah putaran yang ketiga, yaitu setelah usia kandungan genap 40 hari, maka tidak halal melakukan pengguguran sehingga ada pernyataan dari tim dokter spesialis yang terpercaya bahwa jika janin itu dibiarkan dalam perut ibu akan menyebabkan kematiannya. Hal ini dibolehkan setelah segala macam usaha untuk menjaga kehidupan janin dilakukan. Ini hanya rukhsah (keringanan/kebolehan) yang bersyarat karena menghadapi dua bahaya, sehingga harus mengambil jalan yang lebih maslahat.

Majlis Kibarul Ulama ketika menetapkan keputusan ini mewasiatkan untuk bertakwa kepada Allah dan memilih prinsip yang kuat dalam hal ini. Semoga Allah memberi taufik, dan shalawat serta salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Rasulullah n, para keluarga dan sahabatnya z.

Disebutkan pula dalam Risalah Fiddima’ith-Thabi’iyah lin nisa’i oleh Syekh Muhammad bin Utsaimin, Sesungguhnya jika pengguguran kandungan itu untuk melenyapkan keberadaannya, sementara ruh telah ditiupkan pada bayi maka hal itu haram tanpa keraguan, karena telah membunuh jiwa tanpa alasan yang benar. Dan membunuh jiwa yang diharamkan membunuhnya adalah haram menurut Al-Quran, sunnah dan ijma’.

Imam Ibnu Jauzi menyebutkan dalam kitab Ahkaamun Nisa’ halaman 108-109, “Biasanya yang diinginkan seseorang dalam menikah adalah untuk mendapatkan anak, tetapi tidak setiap air itu menjadi seorang anak, maka apabila air itu terbentuk, berarti tercapailah maksud pernikahan.” Maka sengaja melakukan aborsi adalah menyelisihi maksud dari hikmah nikah. Adapun pengguguran yang dilakukan di awal-awal mengandung saja sebelum ruh ditiupkan adalah termasuk dosa besar, hanya saja hal itu lebih kecil dosanya dibandingkan menggugurkan bayi yang telah ditiupkan ruh. Maka kesengajaan menggugurkan bayi yang telah ditiupkan ruh itu berarti sama dengan membunuh seorang mukmin. Allah l berfirman,

“Apabila bayi – bayi perempuan yang dikubur hidup – hidup ditanya, karena dosa apakah ia dibunuh ?” (At-Takwir: 8-9)

Dengan demikian, bertakwalah engkau kepada Allah wahai muslimah, dan janganlah engkau melakukan kejahatan ini untuk tujuan apa pun, karena hal tersebut telah dilarang oleh syariat. Pengecualian untuk menghindari bahaya yang lebih besar menimpa ibu sang bayi jika tidak menggugurkannya. Maka hal tersebut dibolehkan. Wahai muslimah, jangan terpengaruh oleh ajakan-ajakan yang menyesatkan serta jangan pula mengekor kepada kebatilan yang tidak bersandar pada akal sehat dan dinul Islam. Wallahu a’lam bishawwab.

Diambil dari Tanbiihat ‘ala Ahkamin Takhtashshu bil Mu’minat, Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan

majalah nikah april 2007

Komentar»

1. sarah fauzia - April 6, 2011

syukron atas artikelnya….


Tinggalkan komentar